parebut se'eng
06.17parebut se'eng (se'eng adalah sejenis kuwali untuk memasak nasi dalam bahasa sunda, parebut adalah berebut dalam bahasa sunda) merupakan salah satu jenis atraksi pertunjukan seni budaya yang ada di kabupaten Bogor. dalam perayaannya seni ini memperlihatkan gerakan-gerakan atau jurus - jurus silat. awalnya kesenian ini tumbuh didearah Cimande Kec. Caringin Kab. Bogor yang merupakan pusat seni bela diri yang terkenal sampai ke penjuru dunia. di Cimande awalnya seni ini disebut dengan tepak se'eng, seni budaya sunda ini biasa di lakukan untuk meramaikan acara prosesi pernikahan, tepatnya ketika calon mempelai pria beserta rombongan tiba dikediaman calon mempelai wanita.
kesenian ini menyebar keberbagai tempat seiring dengan penyebaran ilmu bela diri itu sendiri, sehingga jangan heran kalau seni ini diperagakan juga oleh orang sunda, sekitar tahun 1925 salah satu warga sindang barang desa pasir eurih kec. ciomas (sekarang masuk dalam kec.tamansari) Kab. Bogor yang bernama bapak Ujang Aslah bermukim dicimande lalu beliau belajar pencak silat yang beraliran Cimande dari Abah H. Hasbullah, setelah sekian tahun beliau belajar ilmu silat beliau pun kembali ke kampung halamannya yaitu sindang barang desa pasir eurih kec. ciomas (sekarang masuk dalam kec.tamansari) Kab. Bogor dan beliau pun mengajarkan ilmu yang didapatnya dari cimande kepada murid - muridnya. dan salah satu murid beliau adalah Bpk. Ukas S. (kini menjabat sebagai pengurus kampung budaya sindang barang)
pada tahun 1950 acara parebut se'eng sering dilakukan pada saat lurah desa pasir eurih yaitu Bpk. Entong Sumawijaya (1950-1970) namun setelah itu kegiatan ini mulai pasif dan, acara parebut se'eng ini mulai diramaikan kembali pada tahun 2006, kaena beriringnya waktu acara ini pun kini di kelola oleh cucu beliau yaitu Bpk. Maki Sumawijaya.
didaerah sindang barang acara ini pada awalnya biasa diadakan sehari sebelum akad nikahan atau acara besanan, acara ini dilaksanakan di halaman rumah calon mempelai wanita yang didampingi oleh rombongan tuan rumah yaitu orang tua, sesepuh, kerabat, bobotoh/pendekar, dll yang menyambut kedatangan mempelai pria dan rombongannya, dan mempelai wanita pun menyediakan sebuah tungku/hawu/kayu bakar untuk acara resepsi adat ini, setelah kedua belah pihak saling berhadapan dan saling berbasa - basi melalui sang bobotoh/ pendekar barulah pihak calon pria mengutarakan maksud kedatangannya, dan pihak mempelai wanita pun memberikan jawabannya. kemudian acara pun dilanjut dengan acara parebut se'eng tadi yang telah dijelaskan, se'eng itu diikatkan pada punggung sang bobotoh mempelai pria dan bobotoh dari mempelai wanita harus bisa merebut se'eng itu dari bobotoh mempelai wanita. kedua pendekar pun saling menunjukan kebolehannya dalam ilmu beladiri yang diiringi oleh gendang penca. adu laga tersebut akan selesai bila sang pendekar dari mempelai wanita telah selesai merebut se'eng yang ada di punggung pendekar dari mempelai pria. seni ini biasa diperagakan oleh 2 sampai 3 orang pasangan yang dilakukan secara bergilir, setelah acara selesai barulah acara akad nikah dimulai.
pepatah sunda mengatakan "sa jore-jore na lalaki masih aya hargaan, sa jore-jore na se'eng masih aya manfaatna" yang artinya "sejelek - jeleknya lelaki masih ada harganya, sejelek - jeleknya kuwali masih ada manfaatnya". dalam seni ini ada 4 kriteria yang harus menjadi perhatian pendekar, yaitu :
kesenian ini menyebar keberbagai tempat seiring dengan penyebaran ilmu bela diri itu sendiri, sehingga jangan heran kalau seni ini diperagakan juga oleh orang sunda, sekitar tahun 1925 salah satu warga sindang barang desa pasir eurih kec. ciomas (sekarang masuk dalam kec.tamansari) Kab. Bogor yang bernama bapak Ujang Aslah bermukim dicimande lalu beliau belajar pencak silat yang beraliran Cimande dari Abah H. Hasbullah, setelah sekian tahun beliau belajar ilmu silat beliau pun kembali ke kampung halamannya yaitu sindang barang desa pasir eurih kec. ciomas (sekarang masuk dalam kec.tamansari) Kab. Bogor dan beliau pun mengajarkan ilmu yang didapatnya dari cimande kepada murid - muridnya. dan salah satu murid beliau adalah Bpk. Ukas S. (kini menjabat sebagai pengurus kampung budaya sindang barang)
pada tahun 1950 acara parebut se'eng sering dilakukan pada saat lurah desa pasir eurih yaitu Bpk. Entong Sumawijaya (1950-1970) namun setelah itu kegiatan ini mulai pasif dan, acara parebut se'eng ini mulai diramaikan kembali pada tahun 2006, kaena beriringnya waktu acara ini pun kini di kelola oleh cucu beliau yaitu Bpk. Maki Sumawijaya.
didaerah sindang barang acara ini pada awalnya biasa diadakan sehari sebelum akad nikahan atau acara besanan, acara ini dilaksanakan di halaman rumah calon mempelai wanita yang didampingi oleh rombongan tuan rumah yaitu orang tua, sesepuh, kerabat, bobotoh/pendekar, dll yang menyambut kedatangan mempelai pria dan rombongannya, dan mempelai wanita pun menyediakan sebuah tungku/hawu/kayu bakar untuk acara resepsi adat ini, setelah kedua belah pihak saling berhadapan dan saling berbasa - basi melalui sang bobotoh/ pendekar barulah pihak calon pria mengutarakan maksud kedatangannya, dan pihak mempelai wanita pun memberikan jawabannya. kemudian acara pun dilanjut dengan acara parebut se'eng tadi yang telah dijelaskan, se'eng itu diikatkan pada punggung sang bobotoh mempelai pria dan bobotoh dari mempelai wanita harus bisa merebut se'eng itu dari bobotoh mempelai wanita. kedua pendekar pun saling menunjukan kebolehannya dalam ilmu beladiri yang diiringi oleh gendang penca. adu laga tersebut akan selesai bila sang pendekar dari mempelai wanita telah selesai merebut se'eng yang ada di punggung pendekar dari mempelai pria. seni ini biasa diperagakan oleh 2 sampai 3 orang pasangan yang dilakukan secara bergilir, setelah acara selesai barulah acara akad nikah dimulai.
pepatah sunda mengatakan "sa jore-jore na lalaki masih aya hargaan, sa jore-jore na se'eng masih aya manfaatna" yang artinya "sejelek - jeleknya lelaki masih ada harganya, sejelek - jeleknya kuwali masih ada manfaatnya". dalam seni ini ada 4 kriteria yang harus menjadi perhatian pendekar, yaitu :
1) wiralma (penjiwaan)
2) wiraga (gerakan)
3) wira cipta (kreativitas)
4) wirasa (keindahan)
nara sumber : Bpk Maki Sumawijaya
pesan moral yang bisa diambil antara lain adalah dalam kehidupan sehari - hari kita harus berusaha sekeras tenaga untuk mendapatkan apa yang kita ingin kan, dan tentu saja agar generasi muda kita tidak buta akan budaya daerah mereka masing - masing.
0 comments